25 May 2007

Kebahagiaan


Beberapa saat lalu saya dengar seseorang membeberkan sebuah hasil penelitian di Amerika. Pada intinya, penelitian tersebut berbentuk survey, dan berusaha mengukur tingkat kebahagiaan penduduk Amerika.

Saya membayangkan ada satu lembar kertas questionaire (kuesioner), yang kira-kira ada isian-isian tentang data diri (umur, penghasilan, dll). Serta (ini sudah dipastikan) hanya ada satu pertanyaan:

Bagaimana Tingkat Kebahagiaan Anda?
a. Sangat Bahagia
b. Bahagia (biasa aja)
c. Tidak Bahagia

Hasilnya (sebagian aja yang saya ingat):
- Penduduk yang menikah, memiliki tingkat kebahagiaan jauh di atas mereka yang tidak menikah.
- Penduduk yang tinggal di daerah dengan sinar matahari lebih banyak, memiliki tingkat kebahagian yang lebih.
- Mereka yang berafiliasi pada Partai Republik, lebih bahagia daripada yang berafiliasi pada Partai Demokrat.
- Penduduk kulit putih dan hispanic lebih bahagia dibandingkan penduduk yang berkulit hitam.
- Tidak ada perbedaan kebahagiaan pada pensiunan atau pun pada mereka yang masih aktif.
- Kebahagiaan sama-sama dimiliki oleh mereka yang memiliki Binatang Peliharaan, maupun mereka yang tidak punya.
- Pasangan menikah yang memiliki anak atau pun tidak, juga memiliki kebahagiaan yang sama.
Sementara kira-kira itu yang saya ingat.

Dilanjutkan, orang itu kemudian membahas beberapa hasil survey itu.
Pasangan menikah memiliki Kebahagiaan lebih, dibandingkan yang tidak menikah. Kalau itu dikaitkan dengan agama, maka intinya menikah itu memang adalah hal yang diberkahi dan diberkati oleh Allah. Mereka yang menikah, memiliki pemahaman yang sangat baik atas toleransi. Tanpa adanya toleransi pastilah tidak akan sampai pada Pernikahan.
Belum menikah adalah tahapan untuk mendapatkan satu Kebahagiaan.

Mungkin tidak terlalu relevan, tapi Partai Republik yang pada dasarnya menjunjung tinggi moral dan nilai-nilai tradisi, dikatakan lebih dekat dengan pemahaman Islam tentang kehidupan. Khususnya tentang Pernikahan, Aborsi, dll. Tentunya ini bila dibandingkan dengan paham Partai Demokrat yang lebih ‘kontemporer’ (ini bahasa saya), di mana mereka mendukung Gay, Lesbian serta Pernikahan Sejenis.

Sejujurnya saya tidak ingat apa penjelasan lebih lanjut dari poin ini. Tapi kalau kita pikirkan, mungkin saja dia bermaksud untuk katakan, kebahagiaan seorang Gay, Lebian atau mereka yang Menikah sesama jenis tidaklah mendapatkan kebahagiaan karena tidak direstui oleh “Penguasa Alam Semesta”.

Bagi kita orang yang tinggal di Indonesia dengan wilayah yang bermandikan sinar matahari, harusnya kebahagiaan tidak sulit untuk didapatkan. Bila ditambahkan faktor menikah, maka makin lengkap Kebahagiaan yang didapatkan (harusnya).

Tapi kenapa banyak orang tidak bahagia? (ini punch-nya, tapi saya tidak ingat dengan pasti apa yang diungkapkan Bapak tadi. Maaf.)

Bapak ini melanjutkan penjelasannya, dengan mengutip pendapat seorang Psikolog dari Inggris, yang pada intinya mengatakan bahwa Kebahagiaan itu diciptakan. Salah satu caranya adalah dengan menghargai Kepuasan. Terlebih Kepuasan Sejati. Suatu sikap menghargai apa didapat saat ini. Menghargai apa yang diberikan Allah pada kita. Kemarin. Saat ini. Akan datang.


Maaf, saya bukan penulis yang baik. Pada saat menuliskan ini pun masih dengan diselingi obrolan tentang pekerjaan, disela dengan membaca sebuah artikel kiriman teman. Diselingi pikiran-pikiran untuk mengatur perjalanan minggu depan. Menerima telepon client. Dan tidak hentinya memikirkan istri yang sedang menimba pengalaman di negeri orang.

Saya hanyalah Anak Kampung, dan semoga tulisan ini tidak Kampungan, walau saya sadar tidak ada kesimpulan dari tulisan ini.

Sama dengan apa yang disampaikan Bapak tadi, saat Khotbah Jumat, 25 Mei 2007 di Masjid Syuhada, Yogyakarta. Satu masjid yang setelah saya perhatikan, seringkali Khatibnya hanya bercerita tentang Riwayat Nabi.
Bahkan siang ini Khatib menceritakan kembali satu hasil penelitian di Amerika, yang pernah dibacanya.

1 comment:

Anonymous said...

kebahagiaan itu tidak bisa ditentukan oleh iya atau tidaknya seseorang berada dalam ikatan pernikahan-- baik dalam hubungan heteroseksual maupun homosexual-- karena pernikahan sendiri tidak pernah bisa menjadi perekat sebuah komitment bila di antara kedua belah pihak yang berkomitmen tidak menghargai janji yang sudah di ikrarkan! Siapa yang bisa mengukur kebahagaian seseorang? Kalau memang orang begitu berbahagia menikah, kenapa angka perceraian selalu tinggi?